Hatmiati's Weblog

belajar memaknai hidup melalui tulisan yang hadir selintas-selintas

BUKAN SEKEDAR CINTA (part 2)

PART 2

Sabina belum genap empat puluh hari, ketika Mahesa mulai sering pulang larut malam, mulai sering memainkan tangan hanya karena masalah sepele. Kehidupan rumah tangganya memang pahit untuk dikunyah. Tetapi, Alina bertahan, demi Sabina, curahan jiwa satu-satunya. Meskipun untuk itu, dia harus membagi kehidupannya dengan tangis, melewati musim demi musim dengan payah.

Sepanjang saat Alina berdoa untuk Mahesa agar berubah dan menjadi lebih baik. Namun Mahesa, lelaki yang dinikahinya tetap tak pernah berubah, perempuan silih berganti datang ke rumahnya. Dia semakin jauh dari keluarga, semakin tidak peduli apakah anak dan istrinya makan atau tidak, dan semakin sering tidak pulang. Tak jarang Alina dengan Sabina di gendongan mencari Mahesa, untuk menyuruhnya pulang, tetapi yang didapati Mahesa yang sedang berangkulan mesra dengan teman wanitanya.

Alina mulai tidak tahan, namun setiap melihat Sabina kemarahannya meruap entah ke mana. Dia semakin tertempa oleh keadaan yang dialaminya, dia makin liat, dan semakin tertantang untuk membuktikan bahwa dia mampu bertahan. Demi Sabina dia bekerja seperti mesin, mencari lembaran-lembaran rupiah yang tak pernah lagi diberikan oleh Mahesa. Hanya dengan menjadi orang yang tidak peduli sekeliling dia mampu berdamai dengan perasaannya.

Alina memang tidak pernah menyadari kalau Mahesa menikahinya hanya pelarian cintanya yang tidak kesampaian. Mahesa tidak pernah benar-benar mencintai Alina, Mahesa menemukan gadis itu dalam pengejarannya terhadap Hana, gadis yang dicintainya di Jogya, Hana yang kemudian ditemukannya telah menikah. Mahesa, seperti menaburkan garam di luka hatinya yang semakin berdarah. Dan, Alina gadis berwajah manis dan doyan berdebat itu menjadi sasarannya. Dinikahinya Alina setelah tiga puluh hari mengenalnya. Dia sadar, dia salah, tetapi dia harus mampu membuktikan bahwa dengan atau tanpa Hana pun dia mampu bertahan dan menikah.

Namun, Mahesa semakin didera perasaan bersalah ketika dia tidak mampu memberikan nafkah yang cukup, terlebih ketika Sabina lahir. Mahesa semakin larut dalam ketakmampuannya, kuliahnya gagal, pekerjaannya di sebuah perusahaan swasta berantakan. Dalam setiap perjalanan hidupnya, tak pernah dia bisa melupakan Hana, semakin keras dia berusaha melupakan Hana, wanita itu justru semakin jelas hadir dalam ingatannya. Saat dia menatap Alina dan Sabina yang terlelap, hanya airmata yang menetes satu-satu yang menggambarkan kegundahan hatinya, dia sadar tak ada yang mampu diberikannya untuk Alina dan Sabina, dia hanya menyakiti mereka. Akhirnya, Mahesa justru sering tidak pulang ke rumah, dia lebih suka tidur di rumah teman-temannya atau meluapkan perasaannya pada gadis-gadis yang singgah sesaat-sesaat.

Dan, suatu ketika di pagi yang masih terbungkus kabut, Alina mendatangi Mahesa yang menginap di rumah temannya, memintanya pulang. Di rumah kontrakkannya yang sempit telah hadir orang-orang yang tak dikenalnya. Di antara mereka, Lisa, teman dekat Mahesa selama ini, duduk tertunduk. Mahesa tak sempat berpikir ketika orang-orang itu menodongnya untuk bertanggung jawab tehadap Lisa yang telah mengandung dua bulan. Mahesa tak bisa mengelak, ketika dengan jelas Lisa menyebut namanya. Mahesa hanya menatap Alina, yang membisu dan menangis tanpa suara.

Sepanjang siang itu, di putaran jam yang menuju ke senja, Alina telah berkemas, tak sepatah kata pun terucap dari lisannya. Dia pergi diam-diam, Mahesa hanya menatapnya tanpa berusaha untuk menahannya. Seratus hari sejak kejadian itu, Alina mendatangi Mahesa dan mereka berpisah baik-baik. Mahesa tak pernah memberinya santunan setelah mereka berpisah, tidak juga untuk Sabina, tetapi Alina tak perduli, dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Sabina.

Akhirnya, saat Alina lulus menjadi guru kontrak di sebuah kecamatan, kehidupannya dengan Sabina mulai membaik. Tak pernah sempat dia berpikir untuk memberi ayah bagi Sabina, mereka cukup bahagia dengan kehidupannya, sampai suatu ketika dia bertemu Bram tanpa sengaja. Saat itu, dia sedang pulang ke rumah orang tuanya di Banjarmasin karena sekolah libur. Bertemu Bram, rasanya seperti mimpi bagi Alina. Apalagi saat Bram meminta Alina untuk menikah dengannya. Alina tidak tahu apa yang membuatnya menerima pinangan itu, mungkin perasaan kesepian, mungkin juga ucapan ibunya, “tak baik menjanda terlalu lama, terlebih dia memiliki Sabina yang memerlukan seorang ayah,” kata ibunya.

“Al, aku tidak diminta untuk menemanimu melamunkan?” usapan lembut di tangannya mengaburkan ingatannya.

“Tidak Bram, tidak. Aku, aku hanya bingung dengan kenyataan yang kualami, dan rasanya aku tak mampu berpikir.” Alina tertunduk lemas. Matahari semakin garang bersinar, Banjarmasin memang selalu panas, terlebih di musim kemarau seperti ini. Pengunjung kedai kopi semakin banyak, sepertinya sudah jam istirahat bagi karyawan.

“Sudahlah Al, semuanya bukan kita yang mengatur, kalau memang kita benar-benar berjodoh, besok kita pasti akan menikah. Masih ada setengah hari dan satu malam lagi sebelum kita disatukan oleh tali pernikahan. Satu yang pasti Al, aku menikahimu semata-mata bukan karena nafsuku, aku cuma ingin membantumu, melewati kehidupan ini karena aku mengenalmu dan tahu bagaimana dirimu. Kesendirianmu dalam mengasuh Sabina, kemandirianmu dalam bertahan hidup, dan pengabdianmu sungguh menggugah kami. Aku dan Santi. Jangan tolak keinginan kami Al, please.” Bram mengakhiri kalimat panjangnya sambil menghela nafas.

“Bram, akukan kerja, jauh lagi, terus bagaimana bentuk hubungan kita?”

“Al, kamukan bisa pindah ke Banjarmasin, lagi pula tugasmu di sana sudah lebih dari lima tahun. Bisa kan?” Bram menatap Alina lembut.

“Terus Mbak Santi bagaimana? Apakah dia tidak keberatan dengan itu?”

“Ini semua gagasannya Al. Puas kamu sekarang? Atau sekarang kita ke rumahku dan ketemu Santi juga Faisal anak kami?”

Alina menggeleng, dia beranjak dari tempat duduknya. Bram berjalan mengikutinya.

“Al, aku tidak mengantarmu yah, nggak enak nanti sama keluargamu.”

Alina hanya mengangguk, dia menyetop angkot yang melewati rumahnya. Sesampainya di rumah, Alina sudah ditunggu seluruh keluarganya, para tetangga yang kebetulan sedang membantu acara pernikahan di rumahnya hanya diam melihat kedatangan Alina.

“Alin, kamu dari mana? Ada masalah apa? Jangan membuat malu keluarga Al.” Pamannya menegur Alina yang diam tertunduk.

“Iya Al, kamu ini menyusahkan keluarga saja. Sudah tahu besok akan menikah masih saja keluyuran, kamu ini sudah tidak muda, janda lagi.” Bibinya ngomel-ngomel. Alina hanya diam membisu, tidak lama setelah itu dia beranjak masuk ke kamar, dilihatnya Sabina sedang terlelap. Alina terenyuh, diusapnya kepala Sabina, betapa dia mencintai anaknya, cinta yang takkan pernah tergambarkan dengan kata-kata. Alina merebahkan diri di samping anaknya. Kamarnya meruap wewangian melati, harum membelai panca indranya.

Matahari mulai beranjak ke peraduan ketika Alina terbangun. Dia bergegas mandi, malam ini dia harus batimung membersihkan tubuhnya dengan uap rempah-rempah. Besok dia akan menikah. Ah…

Sepanjang malam itu dia susah sekali untuk tertidur, matanya terpejam tetapi hati terjaga, menanti besok. Sebenarnya Alina ingin agar pernikahannya diresmikan biasa saja, dihadiri oleh keluarga dekat itu sudah cukup baginya. Tetapi, orang tuanya berkeras agar penikahannya dirayakan dengan meriah, pendapat Alina tidak digubris.

Dinihari, jam tiga subuh, langit Banjarmasin masih pekat bergelung kabut dan kegelapan. Suasana rumah Alina telah ramai, meriah penuh lampu warna-warni, dan lamat-lamat musik Islami telah terdengar. Alina masih memaksakan diri terlelap, tetapi tak kuasa, kebingunganm, ketakutan, dan ketakberdayaan berpadu dalam seluruh sel tubuhnya. Sabina malah tersenyum dalam tidurnya, anak ini memang tak pernah menyusahkan ibunya. Sangat, sangat bersyukur Alina memilikinya.

Pagi menjelang, rerumputan masih menyisakan embun di ujungnya, tetapi Alina telah duduk di meja riasnya, membiarkan dirinya dalam tataan para perias yang mengelilinginya. Alina sangat cantik dalam balutan gamis biru laut dengan kembang-kembang putih dan jilbab warna senada. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan ketika Alina siap menunggu pengantin lelakinya. Satu jam berlalu dari perjanjian, para undangan mulai gelisah, terlebih Alina, tempat duduknya terasa bagai bara.

Pukul sebelas, Alina sudah tak sabar, dia beranjak masuk ke kamarnya. Diluahkannya segala perasaannya dalam deraian airmata yang tak terbendung. Dia benci Bram, dia benci telah dibohongi. Mungkin Bram hanya mempermainkannya. Lumuran luka hatinya yang berdarah membuatnya tak mendengar namanya dipanggil.

Januari 15, 2009 - Posted by | prosa | , , ,

11 Komentar »

  1. ini masih bersambung ya, bu?

    Komentar oleh suhadinet | Januari 16, 2009 | Balas

    • …pertama makasih banget…soale dah mau bantu…maklum masih gaptek…kedua yang tadi buruan diedit cerpen-cerpennya ya…ketiga bila mau nge-send ke email ini alamatnya..hatmiati_mpd@yahoo.com. keempat…cerpen ini masih disambung kaleeeee…..salam buat pendamping yach…eh gimana kabar mgmpnya….

      Komentar oleh hatmiati | Januari 18, 2009 | Balas

  2. Wow… cerpen Ibu keren.. bisa bagi-bagi jurus nulis ga??? ulun iri bin dengki sama style nulis ibu.hehehe
    Bisa ngasih nasehat tentang kepenulisan ga bu…
    ini blog saya yang baru http://superzayedium.blogspot.com

    Komentar oleh zayed norwanto | Januari 18, 2009 | Balas

  3. bAGus2 nih cerpennya. 🙂

    Komentar oleh Rian Xavier | Januari 20, 2009 | Balas

    • makasih…sarannya doong…

      Komentar oleh hatmiati | Januari 22, 2009 | Balas

    • hai Xavier…gimana kabarnya…

      Komentar oleh hatmiati | Januari 28, 2009 | Balas

  4. Wah,wah, akhirnya ketemu juga dengan kau.Di sini rupanya bermukim.
    Membaca cerpen dan puisimu aku yang kau punya talenta besar.Kembangkan terus, tulis apa yang bisa ditulis. Maaf, aku mampir hanya sebentar, mau kunjungi sahabat lainnya.Salam.

    Komentar oleh fahrurraji asmuni | Januari 23, 2009 | Balas

    • pak…alhamdulillah dah mau mampir ke blog ulun…makasih pak. nanti tolong kasih tips biar ulun bisa menulis lebih baik. Pak..cerpen-cerpen bapak keren abis…apalagi bahasa banjarnya…

      Komentar oleh hatmiati | Januari 28, 2009 | Balas

  5. Gimana nih??? Semboyanku “orang bisa kenapa aku ngga” kayanya susah tuk dibuktikan. Dah 2 orang my best friends tampil dengan cerpen2 keren, sedang aku… . HELP ME

    Komentar oleh ironerozanie | Januari 26, 2009 | Balas

    • iyakah…hehehe gak segitunya kaleee….pa kabar…satu kota tapi lama gak bersua…kabarnya mau ada acara ya minggu ini di prim…

      Komentar oleh hatmiati | Januari 28, 2009 | Balas

  6. ditunggu deh lanjutannya.
    ceritanya romantis, bu guru.

    Komentar oleh marshmallow | Februari 2, 2009 | Balas


Tinggalkan Balasan ke hatmiati Batalkan balasan